Analisis
konflik Etnis Aceh dan Jawa
(Membuka Kembali Fakta Kebencian
Orang-orang Aceh Terhadap Orang Jawa)
Kajian
dari Perspektif Sosiologi Konflik
Oleh: Muhammad Ramadhana
* mahasiswa Sosiologi UNIMAL
(Ketua HIMASOS)*
Suku Aceh
1Suku
bangsa Aceh adalah yang dominan mendiami propinsi Aceh. Terdiri dari 17
kabupaten dan 4 kotamadya (1999). Wilayah asli yang dominan diduduki oleh suku
bangsa Aceh adalah Kotamadya Banda Aceh, Sabang, Kabupaten Aceh Besar, Pidie,
Aceh Utara, sebagaian kabupaten Aceh Barat, Aceh Selatan dan sebagaian
kabupaten Aceh Timur.
Suku bangsa Aceh memiliki bahasa sendiri, yaitu Bahasa Aceh yang terdiri dari
bebrapa Dialek, dianataranya dialek peusangan, Banda, Bueng, Daya, Pase.
Tunong, Matang, Seunagan dan Meulaboh. Dari keseluruhan pada umumnya masyarakat
Aceh dapat memahami kata-kata dari kalimat yang diucapkan dari perbedaan dialek
tersebut.
Disamping itu pula,
Aceh terdapat beberapa suku bangsa yang berdomisi dan tersebar dibeberapa
wilayah. Suku tersebut adalah suku Aneuk Jame’e, suku Gayo, Suku Alas, Suku
Kluet,suku singkil, suku Taming, dan Suku Simeulue. Yang memiliki corak bahasa
yang berbeda satu sama lain.
Sejarah Singkat Awal Mula konflik
Aceh-Jawa
Etnisitis merupakan salah satu unsur yang menjadi
objek utama kajian ilmu-ilmu sosial. Dalam sejarah relasai antar etnik di
berbagai belahan bumi, selalu diwarnai oleh konflik etnik itu sendiri. Konflik
anatar etnik selalu saja mencari akarnya pada persoalan sosial ekonomi dan
budaya seperti halnya konflik Aceh. Studi yang dliakukan oleh peneliti
menunjukkan bahwa akar dari semua konflik yang terjadi di Aceh merupakan
persoalan ketidakadilan sosial ekonomi dalam proses pemabangunan serta
serangkaian tuntutan janji atas hak-hak istimewa yang tidak teralisasi.
Beberapa unsur besar diatas merupakan alasan yang
paling logis dibalik catatan perjalanan konflik di Aceh, Namun disamping hal itu pula, terdapat salah
satu bagaian terpenting yang menggoreskan fakta sejarah dibalik konflik serta
pergolakan yang terjadi dikemudian hari di Aceh. Yakni kebencian suku bangsa
Aceh terhadap suatu etnik tertentu, yakni suku Jawa. Memang hal ini sangat jarang
dikaitkan sebagai faktor pemicu munculnya konflik Aceh, dan orang cenderung
mengabaikan fakta ini. akan tetapi sejarah telah membuktikannya.
Sejarah awal kebencian orang Aceh terhadap suku
Jawa pertama kali terjadi pada masa
kerajaan Aceh dulu. 2ketika kerjaan Samudera Pasai diserang oleh
kerjaan Majapahit yang notabene merupakan kerjaan terbesar dipulau Jawa sekitar
tahun 750-796 H yang dipimpin oleh panglima Patih Nala Ketika Sultan Zainul
Abidin Malik Al Zhahir memimpin. Sejak saat itu genderang perang dinyatakan
oleh rakyat Aceh terhadap kerjaan Jawa tersebut. Hal diatas merupakan bagian
kecil dari catatan sejarah menegenai hubungan awal antara Aceh dengan Jawa yang
ditandai dengan konflik. Meskipun pada periode tahun-tahun berikutnya kedua
etnis ini nyaris tidak pernah melakukan kontak fisik berupa perang dan mulai
membangun hubungan melalui bidang penyebaran agama dan perdagangan.
Ketika Belanda melakukan penjajahan di Nusantara,
kurang lebih 350 tahun lamanya, Aceh juga berjuang melakukan perlawanan
terhadap penjajah belanda. Bahkan Aceh memiliki andil besar terhadap perjuangan
kemerdekaan Indonesia di Kemudian Hari. Aceh pula lah yang banyak membantu
Indonesia dalam upaya mempertahankan kemerdekaan dari datangnya kembali
gangguan Belanda yang ingin menjajah Indonesia. Pada Tahun 1945 setelah
Proklamasi Kemeerdekaan Indoensia dikumandangkan Soekarno dan Hatta di Jakarta,
tak lama setelah itu pada 15 Oktober 1945 atas nama seluruh masyarakat, Aceh
menyatakan diri dengan patuh berdiri dibawah payaung NKRI. Meskipun sebenarnya
Aceh dapat berdiri sebagai sebuah negara merdeka dan berdaulat, tetapi, karena
rakyat Aceh pada saat itu diliputi oleh semangat Nasionalisme yang tinggi $maka
Aceh menyatakan diri menjadi bagaian dari Indonesia. Kemudian pemerintah Darurat Indonesia langsung
mengeluarkan ketetapan mengenai posisi Aceh didalam Republik. Ketetapan itu
diberlakukan pad 17 Desember No. 8 / Des/ W.K.P.H yang menetapkan Aceh sebagai
sebuah propinsi.
Awal Kembali Munculnya Kebencian
Orang Aceh Terhadap Jawa
3Namun pada 8 Agustus
1950 Dewan menteri Republik indonesia Serikat (RIS) menetapakan Kalau wilayah
RIS dibagi kedalam 10 propinsi dan Aceh tidak lagi termasuk ke dalam salah satu
propinsi. Keputusan itu menggugurkan janji Sjarifuddin Prawiranegara tentang
pembentukan Propinsi Aceh. Keputusan pembubaran propinsi Aceh kemudian di
umumkan oleh Perdana Menteri M Natsir yang disiarkan oleh RRI di Koetaradja,
Aceh pada 23 Januari 1951. Keputusan tersebut telah melukai perasaan seluruh masyarak
Aceh dan menumbuhkan dendam serta frustasi para pimpinan Ulama yang tergabung didalam
PUSA. Setelah pengkhianatan yang dilakukan oleh jawa (demikian orang Aceh
menyatakan identitas pemerintah Indonesia) tersebut, maka terbesitlah dibenak
Daud Beuereueh untuk melakukan perlawanan dengan membentuk sebuah gerakan yang
bernama DI/TI (sebelumnya NII).
Namun pada bulan April 1957, tunutuan masyarakat
Aceh tentang hak menerapkan syariat Islam serta daerah otonomi khusus
ditidaklanjuti oleh pemerintah Soekarno. Kemudian ditanda tangani perjanjian
atau ikrar Lam Teh. Sehingga mengakhiri pemberontakan Muhammad Daud Beureueh.
Pada tanggal 30 September tahun 1965, tak lama
setelah Aceh kembali bergabung kedalam NKRI dengan pemeberian status Daerah
Istimewa, terjadi kudeta politik yang
dilakukan oleh Soeharto terhadap Soekarno dengan tuduhan ia terlibat dalam
PKI dan memanfaatkan momentum krisis
ekonomi dan politik. Setelah Soeharto berkuasa ternyata ia membuat kebijakan
yang sangat sentralistik. Daerah istimewa yang dijnjikan dulu tidak pernah
ditepati dan bahakan dilupakan. Kekecewaan rakyat Aceh terhadap orang jawa
diperkuat oleh penemuan sumber cadanagan minyak dan gas alam terbesar pada
tahun 1971 di Lhokseumawe. Empat tahun kemudian Mobil Oil Indonesia perusahaan
raksasa yang bermarkas di Amerika serikat diberikan hak untuk mengeksploitasinya.
Sehingga kemudian disusul oleh beridirinya perusahaan-perusahaan industri besar
seperti PT. PIM, PT AAF, PT KKA dan sejumlah industri hilir lainnya. Meskipun
Aceh telah ditetapkan sebagai kawasan ZIL (zona industri Lhoseumawe) namun
keuntungan tidak pernah dirasakan oleh rakyat Aceh. Aceh tetap miskin dan
masyarakatya tetap hidup dalam kemelaratan. Seluruh keuntungan mengalir ke
pusat. Ekspansi besar-besaran tenaga kerja asing terjadi. Sebagian besar
birokrat serta posisi-posisi penting didalam pemerintahan di Aceh dikuasai dan
didominasi oleh orang Jawa maka semakin menumbuhkan kebencian orang-orang Aceh
terhadap orang jawa.
Kekecewaan demi kekecewaan dirasakan oleh orang Aceh
akibat pengkhianatan dan kezaliman yang dilakukan oleh Jakarta (Jawa-red)
membuat orang Aceh menyimpan dendam teramat dalam terhadap orang-orang jawa.
Puncaknya adalah, lahirnya kembali sebuah gerakan perlawanan yang diberi nama
ASLNF (Aceh Sumatera Liberation Front) atau yang sering disebut Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) yanh diproklamirkan oleh Hasan Tiro pada tanggal 4 Desember 1976.
sebuah gerakan perlawanan terhadap pemerintah Indonesia yang oleh orang Aceh
menyebutnya pemerintahan Jawa. Gerakan ini dibentuk atas inisiatif Hasan Tiro
yang juga merupakan cicit dari pahlawan Aceh yakni tengku Chik Di Tiro. Secara diam-diam ia mencoba kembali membuka
ruang perlawanan terhadap pemerintah yang didominasi oleh orang-orang yang
berasal dari etnis jawa. Doktrin perlawanan yang disuarakan adalah tentang
ketidakadilan, pengkhianatan, kekecewaan yang diselimuti dengan kebangkitan
Nasionalisme orang Aceh.
Meskipun perlawanan ini dilatarbelakangi oleh aspek
politik, Agama dan ekonomi, yaitu penentuan hak otonomi serta eksploitasi hasil
Alam yang timpang sehingga membuat orang-orang Aceh tetap berada dibawah garis
kemiskinan meskipun kaya akan sumberdaya Alam, serta janji pemerintah atas
penerapan syariat Islam di Aceh yang urung terealisasi. namun disamping itu
pula, perjuangan ini didasarkan atas kebencian terhadap etnis jawa. Bagi orang
Aceh, NKRI adalah milik bangsa Jawa. Karena fakta politik dimasa orde baru
etnis jawa mendominasi struktur pemerintahan.4GAM membangun rasa
benci dengan memanfaatkan sentimen entis tersebut. 5Orang jawa
merupakan musuh Historis bagi rakyat Aceh. Dalam hal ini, Hasan Tiro membangkitkan
kembali sejarah penajajahan Majapahit terhadap Kerajaan Samudera Pasai sehingga
permusuhan dengan pihak jawa merupakan garis merah atas apa yang terjadi pada
masa lalu pada bangsa Aceh. Seiring perjalanan waktu, intensitas perang semakin
meningkat.
4 Novri
Susan: Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Konrtemporer, hal. 154
3
M.
Madya Akbar: Meretas Jalan Damai Menuju Masa Depan, hal. 54
Namun disisi lain, pemerintah penguasa Orde baru
sedang giat-giatnya merealisasikan program pembangunan serta penyebaran
Transmigrasi terutama yang berasal dari pulau jawa yang kemudian ditempatkan
didaerah-daerah. Tak sedikit Transmigaran yang berasal dari pulau jawa
membangun pemukiman-pemukiman baru di Aceh. Hal ini semakin menambah kemarahan
orang Aceh terhadap Jawa dan tak jarang selama kurun waktu tahun 80-90-an para
Transmigran menjadi sasaran amarah masyarakat Aceh terutama sekali GAM. Para
transmigran banyak yang mendapat perlakuan tidak manusiawai mulai dari
penganiayaan, penculikan terhadap etnis Jawa pembakaran rumah hingga kehilangan
nyawa. Hal ini yang kemudian membuat orang-orang Jawa transmigran merasa
terancam hidupnya dan bahkan kebanyakan dari mereka memilih keluar dari Aceh.
Ketika itu orang Aceh sanagat membenci orang Jawa. Bagi
orang Aceh, jawa adalah bangsa pengkhianat, meskipun sebenarnya yang patut
dibenci adalah oknum pemerintah Indonesia, yang dominan di tempati oleh
orang-orang yang ber etnis Jawa, namun para transmigran pula tak luput dari
teror serta ancaman dan intimidasi. Karena orang Aceh beranggapan, semua orang jawa adalah
penipu, sehingga orang-orang Aceh terutama GAM, telah mempersepsikan atau
memaknai negatif secara umum terhadap etnis Jawa.
Sentimen etnis di era perdamaian
Setelah melakukan perlawanan selama kurang lebih 30
tahun lamanya yang mengorbankan ribuan nyawa baik dikedua belah pihak dan
terutama sekali rakyat sipil akhirnya pihak-pihka berkonflik yakni GAM dan RI
bersepakat melakukan genjatan senjata dan menempuh jalur damai untuk
menyelesaikan konflik. Untuk menghindari jatuhnya kembali korban dari rakyat
sipil. Terlebih ketika itu tanggal 26 Desember tahun 2004 Aceh dilanda musibah
Gempa dan Tsunami sehingga pihak-pihak berkonflik didesak untuk mengakhiri
perang.
6 Pada
Agustus 2005 pihak pemerintah Indonesia dan GAM bersepakat menandatangani
perjanjian damai di Helsinki Finlandia, yang kemudian melahirkan nota
kesepahaman bersama atau yang biasa dikenal MoU Helsinki. Bahkan setelah damai
pun, sikap sentimen terhadap etnis Jawa pun tetap ditunujukan oleh orang Aceh.
Bukti nyatanya adalah, masih terjadinya tindak kekerasan dan pembunuhan
terhadap etnis Jawa yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu meskipun bukan
dilatarbelakangi oleh faktor etnisitas, namun tetap orang Jawa yang menjadi
sasarannya. Meskipun kini, eskalasi kebencian telah menurun drastis, namun tak
menuntut kemungkinan, apabila Jakarta (Jawa) kembali mengkhianati orang Aceh,
akan timbul kembali konflik-konflik baru antar kedua etnis tersebut atau lebih.
5 Novri
Susan: Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Konrtemporer, hal. 155
Analisis Konflik Aceh (pendekatan Sosiologi Konflik Lewis Coser)
Lewis Couser adalah salah satu pelopor sosiologi
konflik struktural. Coser telah memberi konstribusi penting dalam tradisi
sosiologi konflik, yaitu; pertama, pendapatnya mengenai konflik sosial sebagai
suatu hasil dari faktor-faktor lain daripada perlawanan kelompok kepentingan;
kedua, memperlihatkan konsekuensi konflik dalam stabilitas dan perubahan
sosial. Dalam hal ini, Coser memperlihatkan bagaimana konflik memiliki fungsi
terhadap sistem sosial. Ia menolak bahwa hanya konsensus dan kerja sama yang
memiliki fungsi terhadap integrasi sosial.
6Menurut
Coser, konflik tidak hanya berwajah negatif. Konflik memiliki fungsi positif
terhadap perubahan-perubahan sosial yang diakibatkannya. Sehingga ia
menghubungkan antara konflik dan perubahan sosial serta unsur perilaku
permusuhan (hostile Behavior) yang
menyebabkan masyarakat mengalami situasi konflik. Dengan demikian dapat di jelaskan konflik di Aceh adalah
lebih menekankan perjuangan kelas atas hak-hak yang telah dieksploitasi oleh
pemerintah terhadap masyarakat Aceh, terutama dalam hal perebutan basis-basis
material, dimana pemerintah melakukan eksploitasi sumber daya alam yang ada di
Aceh dengan system sentralistiknya.
Dalam kajian sosiologi Coser, konflik di Aceh merupakan
penggabungan antara konflik realistis dan non realistis. Artinya ada unsur
perebutan sumber ekonomi yang berhubungan dengan konteks tipe realsitis serta
etnisitas yang ditandai dengan mempertegas identitas kelompok, yang merupakan
tipe konflik non realisitis. Coser memperlihatkan fugsi konflik terhadap kohesi
kelompok. Melalui The Function of Social Conflict (1957), Coser memberi
perhatian pada adanya konflik eksternal dan internal. Konflik eksternal mampu
menciptkan dan memperkuat indentitas kelompok. contoh tersebut adalah bentuk
kekecewaan masyarakat Aceh yang merasa identitas yang mereka miliki di jajah
oleh orang lain, dalam hal ini tentu saja pemerintah Republik Indonesia. Maka
dari itulah mereka pun bergejolak dan timbullah konflik yang berkepanjangan
antara RI dan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang banyak memakan korban tersebut.
Seperti
yang kita ketahui bersama, teori konflik mengatakan bahwa konflik itu perlu dan
penting untuk mewujudkan perubahan social yang lebih baik, terkait konflik di
Aceh dengan adanya perjanjian untuk berdamai yang berlangsung Agustus 2005
lalu, diharapkan perubahan yang lebih baik terjadi di Aceh. Paling tidak,
pelanggaran HAM yang sering terjadi saat konflik melanda kini mulai berkurang,
dan semoga kedepannya masyarakat Aceh dapat hidup dengan damai dan sejahtera
tanpa adanya pertumpahan darah di bumi serambi Mekkah itu, seperti apa yang
kita harapkan bersama.
6
Novri
Susan: Pengantar Sosiologi Konflik dan
Isu-isu Konflik Konrtemporer, hal. 155
Sugeng Hadiwinata,
Bob dkk. “Transformasi Gerakan
Aceh Merdeka”, FES, 2010